![]() |
credit : ranselsaya.com |
Pada suatu pagi di kawasan Car Free Day Sudirman, Jakarta, 30 Juli 2017, sebuah langkah kecil namun bermakna dimulai. Di tengah arus manusia yang berjalan kaki santai, menyusuri trotoar bebas kendaraan, terdengar suara gelak tawa anak‑anak, langkah orang tua yang menggandeng tangan buah hatinya, dan diantara itu, sekelompok orang yang membawa informasi dalam lembar-lembar brosur, serta tekad yang tak biasa : mengajak masyarakat untuk memahami autisme.
Diantara mereka berdiri dua sosok : Ratih Hadiwinoto, Alvinia Christiany, ditemani teman-teman yang sevisi. Di sanalah benih dari komunitas Teman Autis mulai tumbuh. Meski awalnya gerakan itu diberi nama Light It Up Project.
Titik Awal : Keresahan yang Berubah Jadi Panggilan
Ratih bukan berasal dari latar seorang psikolog atau pakar autisme. Ia adalah manusia biasa yang menyaksikan kenyataan bahwa kata “autis” dibuang‑pakai sebagai ejekan ringan. Kalimat seperti :
“Kenapa sih dia kok menyendiri gitu?”
“Biasalah, orangnya emang autis!”
kerap muncul di sekolah, diantara teman‑teman, di ruang teras rumah, di ruang-ruang pertemuan, dan perjumpaan komunal lainnya.
Ia merasakan betapa sederhana sebuah kata, bila dilekatkan tanpa pemahaman, bisa menjadikan anak berbeda—yang mungkin pilihan untuk diam atau menyendiri—sebagai obyek gunjingan.
Dalam sebuah wawancara, terungkap bahwa Ratih bersama rekannya, Alvinia Christiany, melihat banyak anak berkebutuhan khusus, terutama dengan autisme, yang terpinggirkan hanya karena lingkungan tak memahami. (IDN Times)
Mereka menyiapkan diri bukan sekadar untuk “mengasihani”, tetapi untuk “mendampingi” dan “menerangi”.
Perjalanan community building ini dimulai dengan nama Light It Up Project—sebuah proyek yang digagas pada 2017 untuk meningkatkan awareness tentang autisme. Di hari CFD Sudirman, mereka berjalan bersama anak‑anak dengan autisme, orang tua, membawa brosur edukatif. Keberanian untuk tampil di ruang publik—membaur sekaligus berbeda—itu sendiri sudah langkah besar.
Semangat itu tak berhenti. Pada 10 Maret 2018 diadakan Light It Up Gathering yang lebih besar, terbuka untuk lebih banyak volunteer dan masyarakat umum. Dari sana, gagasan berubah : bukan hanya euforia event, tetapi sebuah wadah — akhirnya resmi bernama Teman Autis sejak April 2018.
![]() |
credit : idntimes.com |
Ratih sebagai founder dan Alvinia sebagai co founder memimpin tim yang terdiri dari para expert, terdiri dari guru Anak Berkebutuhan Khusus/ABK, legal counselling, digital marketing untuk memperkuat komunitas ini.
Tantangan Awal dan Luka‑luka yang Tercebur
Membangun sebuah komunitas inklusif di Indonesia bukan perkara ringan. Ratih bersama tim menghadapi hambatan seperti minimnya pengetahuan masyarakat, stigma yang mengakar, sumber daya terbatas, serta akses ke layanan terapi atau sekolah yang terpencar.
Bayangkan seorang anak yang diam, yang memilih sendiri, ditekan oleh asumsi “malas” atau “sengaja”. Kalimat sederhana itu mungkin jadi luka bagi anak, dan beban bagi orang tua. Ratih memahami ini. Ia pun merasakan urgensi untuk membuat “ruang aman” — bagi anak dengan autisme dan orang tua yang mendampingi.
Dalam salah satu liputan, Ratih menyebut bahwa banyak orang tua yang “membiarkan” anaknya karena malu, atau karena tidak tahu harus mulai dari mana.
Ratih, Alvinia dan tim tak patah arang. Mereka melakukan beberapa strategi yang meliputi edukasi, membangun direktori, dan mewadahi orang-orang dalam komunitas.
![]() |
credit : idntimes.com |
Apa yang dilakukan Ratih dan tim‑nya untuk meredam stigma dan membantu orang tua? Berikut beberapa langkah nyata yang ia dan tim jalankan yang telah saya himpun dari berbagai sumber :
Edukasi publik
Ratih tidak hanya berbicara kepada orang tua dengan anak autis, tetapi kepada publik luas. Event jalan kaki di CFD, kampanye pembagian brosur, seminar offline maupun online—semuanya diarahkan untuk membangun pemahaman bahwa autisme adalah kondisi neurologis, bukan “anak bandel” atau “orang aneh”.
Platform informasi terintegrasi
Dengan keterbatasan layanan yang tersebar, Ratih paham bahwa orang tua butuh informasi terintegrasi : klinik, terapi, sekolah, komunitas. Di website Teman Autis tersedia direktori yang mencatat lebih dari 100 klinik seluruh Indonesia. Lengkap dengan terapi, sekolah, komunits yang bisa diisikan pilihan lokasi.
Support system untuk orang tua
Ratih memastikan komunitas juga menjadi ruang bagi orang tua untuk berbagi tantangan, keberhasilan, kegelisahan. Banyak orang tua merasa sendirian. Ratih mengubah itu menjadi “kita bersama”.
Memanfaatkan digitalisasi
Menyadari bahwa Indonesia sangat luas, dengan banyak daerah yang belum terjangkau layanan, Ratih mendorong semua jenis layanan (online dan offline). Misalnya di platform Instagram, ia dan tim rutin menyelenggarakan Instagram Live “TAWA – Tanya Jawab Seputar Autisme”, website ditambah dengan konten edukasi digital kekinian.
Selain itu, kini Teman Autis juga membuka konsultasi secara daring, berawal dari orang tua dengan autis yang berada di luar kota dan mengalami kesulitan jika harus bertatap muka secara langsung. Meskipun layanan ini masih terbatas untuk orang tua yang sudah tergabung di Whats App Group Teman Autis.
Momen yang Menggetarkan Hingga Sebuah Apresiasi
Salah satu catatan penting dalam perjalanan Ratih dan Alvinia bersama tim adalah saat Teman Autis menerima penghargaan SATU Indonesia Awards pada tahun 2022. Penghargaan ini bukan hanya simbol, melainkan pengakuan bahwa usaha Ratih, Alvinia dan tim telah menghasilkan dampak nyata dalam masyarakat.
Ratih pernah berkata bahwa setiap kali melihat anak autis mendapatkan perlakuan lebih manusiawi—yakni bukan dikucilkan—hatinya ikut bergetar. Dan itulah yang memberi energi, bukan sekedar target jumlah klinik atau followers, tetapi perubahan sikap yang menuju pada perubahan kehidupan.
Refleksi Saya sebagai Orang Tua : Perjalanan yang Paralel
Sebagian kecil dari cerita ini ingin saya curahkan ke dalam pengalaman saya sendiri karena saya juga ada di jalur yang paralel. Anak sulung saya, namanya Tangguh, usia hampir 8 tahun, kelas 2 SD, didiagnosa autisme level 1 sejak usia 3,5 tahun.
Banyak orang bilang, “Ah, nampaknya biasa saja”, namun bagi kami orang tua, tantangannya nyata. Saat masuk sekolah reguler, ada beberapa momen :
Ia memilih menyendiri saat istirahat, lebih nyaman membaca setumpuk buku yang dibawanya di atas kasur empuk bertingkat yang dijadikan UKS sederhana di pojok ruang kantor daripada ikut lari‑lari.
Belum lagi dalam pembelajaran konvensional di sekolah, guru membiasakan siswa untuk menulis sepapan penuh, sedangkan Tangguh stres dengan itu semua dan memilih tidak menulis sama sekali.
Teringat kembali apa yang Ratih dan tim Teman Autis perjuangkan yaitu agar label autis tidak menjadi bahan ejekan. Saya pun bergumul, bagaimana menjelaskan kepada guru bahwa Tangguh butuh waktu transisi sedikit lebih lama, bagaimana saya mencari referensi pembelajaran yang sesuai, bagaimana saya mencari komunitas orang tua yang ‘mengerti’. Di sinilah nilai komunitas yang dibangun Ratih, Alvinia, dan tim terasa : ketika saya menemukan direktori yang ia sediakan, ketika saya membaca artikel dan konten edukasi yang dihasilkan tim Teman Autis, saya merasa tidak lagi sendirian.
Saya tak akan mengambil banyak ruang di bagian ini, karena fokus utama cerita ini adalah perjalanan Ratih, Alvinia, dan tim. Namun saya ingin menegaskan bahwa bagi banyak orang tua seperti saya, inisiatif Teman Autis itu datang sebagai oase—setelah sekian lama kebingungan.
Tantangan ke Depan dan Harapan yang Digenggam
Meski sudah banyak pencapaian, Ratih, Alvinia dan tim tahu bahwa perjuangan belum selesai. Tantangan besar masih menanti.
Sebaran layanan terapi masih tidak merata — banyak daerah di luar pulau besar yang belum memiliki akses.
Stigma masih kuat, sering tercecer dalam ucapan sehari‑hari yang dianggap “hanya bercanda”. Ratih pernah mencontohkan, “Kalau anak nggak mau bicara, langsung dibilang ‑ih autis, autis”. (IDN Times)
Selain itu, sumber daya manusia dan pendanaan masih terbatas. Dan esensinya, komunitas tetap bergantung pada dukungan, volunteer, serta donasi yang semestinya berkelanjutan.
Namun, seperti karakter utama dalam kisah‑kisah yang diceritakan Andrea Hirata dalam tulisannya (yang saya coba tiru gaya narasinya), Ratih tetap menatap ke depan dengan semangat :
“anak‑anak ini punya potensi yang belum dieksplor, kita buka ruangnya”
Ia percaya bahwa perubahan kecil di lingkungan sekitar—guru, teman sekolah, tetangga—akan punya efek domino.
Visi yang ia genggam adalah Indonesia ramah autisme. Sebuah tempat yaitu Indonesia, dimana anak autis tak lagi dijauhi, tapi diterima. Dimana orang tua tak lagi merasa sendirian, tapi menjadi bagian dari jaringan yang terus saling mendukung satu sama lain.
Akhir Kata : Sebuah Cermin dan Sesuatu yang Memanggil
Saya membayangkan suatu adegan sederhana : Ratih, Alvinia, dan tim berdiri di pinggir trotoar CFD, membawa brosur, tersenyum pada pejalan kaki yang kadang acuh, kadang melirik. Ada seorang ibu yang berhenti, bertanya “Apa itu autisme?” Ratih menjawab dengan tenang, sederhana : “Autisme itu bukan penyakit yang membuat anak jadi nggak manusia. Ia hanya beda dalam cara ia bermain, bicara, merasakan.”
Di sana, satu percakapan kecil bisa mengubah asumsi besar.
Dan saya, sebagai orang tua anak seperti Tangguh, melihat interaksi semacam ini penting, karena orang tua mana yang tak bergetar saat anaknya dipandang “aneh” atau “menyendiri” tanpa pengertian? Inilah sebabnya saya ingin menuliskan kisah Ratih, dan Teman Autis : agar lebih banyak orang tahu bahwa perubahan bisa dimulai dari satu langkah kecil, dari satu komunitas yang peduli.
![]() |
credit : idntimes.com |
Akhir kata, kisah Ratih Hadiwinoto dan Teman Autis adalah cermin sekaligus pemanggil. Cermin karena memperlihatkan bahwa ketika kita menghadapi luka sosial—seperti stigma terhadap autisme—kita bisa memilih untuk diam atau bertindak. Ratih memilih bertindak. Pemanggil karena mengajak kita semua: guru, orang tua, teman sebaya, masyarakat umum—untuk ikut ambil bagian di dalamnya.
Jadi, ketika nanti kita mendengar lagi :
“Kenapa sih dia kok menyendiri gitu?”
“Biasalah, orangnya emang autis!”
—berhentilah sejenak. Bayangkan bahwa di balik kalimat itu, bisa jadi sebuah anak yang sedang mencari ruangnya untuk diterima, dan orang tua yang sedang mencari dukungan. Bayangkan bahwa ada seseorang seperti Ratih yang sudah berjuang untuk menjembatani dunia mereka dengan kita.
Semoga cerita ini menjadi inspirasi bagi semua yang ingin membuat Indonesia sedikit lebih ramah, sedikit lebih penuh pengertian, sedikit lebih manusiawi.
- Wassalam -
#APA2025-PLM
#APA2025-BLOGSPEDIA
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar