Merindu Geliat Literasi Semarangan



Oleh Prita Hendriana Wijayanti*



Menjelang usia 468 tahun pada 2 Mei nanti, Semarang sibuk berbenah diri. Berbagai event peringatan HUT marak digelar. Sebut saja Semargres (Semarang Great Sale) yang baru dibuka secara resmi bersamaan dengan agenda hari jadi yang akan terus berlangsung hingga akhir Mei nanti. Lihat juga upaya pemerintah dalam mempercantik fasum dan taman kota yang tadinya tak terawat dan ala kadarnya. Sebut saja seperti Stadion Tri Lomba Juang, taman di kompleks Tugu Muda, Taman Sampangan, Taman Pandanaran, Taman KB, dan yang lainnya. Tentu ini makin mengukuhkan dan menambah daya tarik kota Semarang sebagai kota ke-5 termaju di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung.

Seiring dengan kesibukan Semarang berbenah diri, tentu juga harus diiringi dengan kapasitas pengetahuan masyarakatnya. Seperti ungkapan yang mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang punya masyarakat pembelajar. Salah satu indikatornya bisa dilihat dari geliat literasi yang tumbuh di tengah masyarakatnya. Apa itu literasi? Berasal dari asal kata literate, yang bisa diartikan melek aksara, keberaksaraan, atau terpelajar. Literasi merupakan kemampuan membaca dan menulis, namun saat ini berkembang lebih luas daripada itu. Apakah pemerintah sudah benar-benar serius menumbuhkan budaya literasi di kota tercinta yang sedang cantik-cantiknya ini?

Dari Potensi Menjadi Potential Lost

Sebenarnya, disadari atau tidak, Semarang sudah memiliki cikal bakal menuju arah tersebut. Contohnya seperti perhelatan besar Putri Indonesia 2015 yang lalu, menobatkan Anindya Kusuma Putri yang notabene masih tercatat sebagai mahasiswa Fakutas Teknik Universitas Diponegoro, salah satu institusi pendidikan ternama di Semarang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa perhelatan kontes kecantikan semacam itupun membutuhkan kecerdasan literasi yang mumpuni.

Ada lagi Café Buku Deqiko yang terletak di Banyumanik. Pemiliknya bukanlah berasal dari bidang ilmu perpustakaan, namun dengan tekad dan dibungkus ide yang brilian, terciptalah satu konsep merangsang minat kalangan muda untuk membaca dan mencintai buku semudah mereka menghabiskan waktu bercengkerama dengan teman-teman tercinta.

Belum lagi kemunculan berbagai komunitas perbukuan, penulisan, sastra, atau ranah literasi yang lain. Banyaknya taman baca atau perpustakaan komunitas sebenarnya adalah aset. Betapa dunia kerelawanan yang dilakukan dengan passion tanpa embel-embel project tertentu lebih berdampak dan berjangka waktu lama (long lasting).

Sayangnya, sedikit sekali yang mengetahui keberadaan tentang aktivitas literasi yang dilakukan komunitas. Sebut saja yang bisa dibilang sejarah, seperti halnya Pondok Baca Nh.Dini, salah satu sastrawan feminis di Indonesia, yang sejak 1986 telah mewarnai aktivitas literasi anak-anak di Kampung Sekayu. Meski saat ini pondok bacanya kemudian diteruskan di Aula Graha Wredha Mulya. Ada pula yang lebih aktual saat ini, seperti komunitas 1000 guru yang menggabungkan kesenangan traveling dan mengajar. Atau kemunculan beberapa taman baca independen yang kebanyakan berada di wilayah Semarang atas.    

Apa yang sudah terungkap di atas merupakan potensi yang apabila dikembangkan dengan baik akan dapat menjadi keunggulan tersendiri. Namun apabila potensi tersebut tidak dikelola dengan baik sehingga ke depan bisa bermanfaat untuk perkembangan kecerdasan literasi masing-masing individu yang kemudian berdampak pada karakter warga negara yang baik (good citizen), maka semuanya hanya akan menjadi potensi yang terbuang (potential lost). 

Menyangkut literasi, erat kaitannya dengan buku dan membaca. Mengapa? Sebab keberaksaraan bermula dari keingintahuan kita terhadap ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itulah yang kemudian membuat tiap individu menjadi lebih berdaya dalam hidupnya. Bicara tentang hal tersebut, selain institusi pendidikan formal seperti halnya sekolah dan universitas, perpustakaan memiliki peran penting. Karena seharusnya ia benar-benar menjadi learning hub bagi siapa saja masyarakat yang ingin memperoleh pengetahuan secara non formal. Tentu karena tak semua masyarakat di negeri ini mampu untuk memenuhi akses terhadap pengetahuan yang banyak terwakilkan oleh buku atau jaringan informasi maya bernama internet. Jangankan membeli buku atau berlama lama dengan internet, ‘buat makan saja pas-pasan’ misalkan, atau prinsip ‘yang penting kan sekolah’ sudah mendarah daging di sebagian besar masyarakat dengan tingkat literasi yang rendah.



Dari titik itu, perlu ada terobosan kreatif dari semua pihak untuk menggeliatkan aktivitas literasi dalam kehidupan sehari-hari. Baik dari pihak pemerintah maupun swasta, seperti perpustakaan, taman baca, penerbit, toko buku, sekolah, universitas, penulis, dan komunitas. Gelaran aktivitas literasi jangan hanya sekedar seremonial satu kali setahun, sekedar pameran buku murah diselingi lomba-lomba kesenian untuk menarik animo masyarakat saja. Diskusi, bedah buku&film, klinik penulisan, story telling, dan yang lainnya juga perlu untuk jadi muatan aktivitas yang kontinyu.

Dalam momentum hari buku sedunia yang diperingati setiap 23 April, mari kita lupakan kesenjangan, mitos rendahnya minat baca, eksklusifitas komunitas, atau kemewahan literasi hanya di kalangan intelektual saja.

Sudah waktunya Semarang setara sesuai jargonnya dan sesuai kapasitasnya sebagai ibukota Jawa Tengah, tidak kalah dengan Surabaya, ibukota Jawa Timur yang sudah lebih dulu melampaui dan mendeklarasikan diri sebagai kota literasi. Tentu kita harus banyak belajar dari saudara terdekat kita itu, bila di setiap Balai RW, taman kota, dan fasum seperti Puskesmas juga memiliki sudut baca yang terkoordinasi dengan baik, bukankah itu juga mendatangkan potensi wisata yang lain? Siapa bilang ranah literasi tidak bisa diprediksi mendatangkan pundi-pundi peningkatan ekonomi seperti halnya semarak Semargres? Mari Merenung.

* Alumni Ilmu Informasi&Perpustakaan Universitas Airlangga, pendiri komunitas Insan Baca, tinggal di Semarang


Prita HW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar